Tugas Makalah
DI
S
U
S
U
N
OLEH
S
U
S
U
N
OLEH
KOLOMPOK: VI
1. MUSTAKIM
2. MULTAZAM
3. IRWANSYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI IAIN AR-RANIRY
FAKULTAS TARBIAH
JURUSAN
BIMBINGAN KONSELING
BANDA ACEH-2013
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur ke
hazirat Allah SWT, akhirnya kami bisa menyelesaikan tugas makalah kami dengan
baik, yank pembahasannya menyangkut masalah kedudukan adan tujuan tasawuf dalam
islam.
Kami mengucapkan terima kasih kepada
dosen pembimbing yang telah memberikan gambaran umum dalam penulisan makalah
ini. Terima kasih juga kami sampaikan kepada pihak-pihak yang sudah banyak
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Dalam kesempatan ini pula kami
mengharapkan kritikan dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan makalah
ini. Akhir kata, kami mengharapkan makalah ini dapat bermamfaat, baik bagi kami
pemakalah maupun bagi pembaca.
Banda
Aceh, 10 mei 2013
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ii
BAB I: PENDAHULUAN
a. Latar
belakang.............................................................................................................. 1
b. Rumusan
masalah2
c. Tujuan........................................................................................................................... 2
BAB II: PEMBAHASAN
a. Kedudukan
tasawuf .................................................................................................... 3
b. Tujuan
tasawuf............................................................................................................. 8
BAB III: PENUTUP
a. Kesimpulan................................................................................................................... 10
b. Saran............................................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Ajaran Tasawuf dalam Islam, memang
tidak sama kedudukan hukumnya dengan rukun-rukun Iman dan rukun-rukun Islam
yang sifatnya wajib, tetapi ajaran Tasawuf bersifat sunnat. Maka Ulama Tasawuf
sering menamakan ajarannya dengan istilah “Fadailu al-A’mal” (amalan-amalan
yang hukumnya lebih afdal), tentu saja maksudnya amalan sunnat yang utama.
Memang harus diakui bahwa tidak ada
satupun ayat atau Hadith yang memuat kata Tasawuf atau Sufi, karena istilah ini
baru timbul ketika Ulama Tasawuf berusaha membukukan ajaran itu, dengan bentuk
ilmu yang dapat dibaca oleh orang lain. Upaya Ulama Tasawuf memperkenalkan
ajarannya lewat kitab-kitab yang telah dikarangnya sejak abad ketiga Hijriyah,
dengan metode peribadatan dan istilah-istilah (simbol Tasawuf) yang telah diperoleh
dari pengalaman batinnya, yang memang metode dan istilah itu tidak didapatkan
teksnya dalam Al-Qur’an dan Hadith. Tetapi sebenarnya ciptaan Ulama Tasawuf
tentang hal tersebut, didasarkan pada beberapa perintah Al-Qur’an dan Hadith,
dengan perkataan “Udhkuru” atau “Fadhkuru”. Dari perintah untuk berzikir
inilah, Ulama Tasawuf membuat suatu metode untuk melakukannya dengan istilah
“Suluk”. Karena kalau tidak didasari dengan metode tersebut, maka tidak ada
bedanya dengan akhlaq mulia terhadap Allah. Jadi bukan lagi ajaran Tasawuf,
tetapi masih tergolong ajaran Akhlaq.
Dan kalau dikatakan lagi, bahwa
ajaran Tasawuf sebenarnya termasuk kelanjutan dari ajaran Mistik umat
terdahulu, kemiripannya tidak berarti bahwa Tasawuf dalam Islam adalah Mistik
umat terdahulu, tetapi memang banyak ajaran umat terdahulu masih dipertahankan
oleh Islam; misalnya ajaran tentang perkawinan, khitanan, jual-beli,
sewa-menyewa, pegadaian dan sebagainya.
B.
Rumusan maslah
1. Menjelaskan tentang kedudukan
tasawuf dalam Islam
2. Menjelaskan tujuannya taswuf dalam
Islam
C.
Tujuan masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulis
adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui kedudukan tasaawuf.
2.
Untuk
memahami tujuan tasawuf kehidupan.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Ajaran Akhlaq dan Tasawuf terdapat
dalam sendi ajaran Ihsan, maka tasawuf itu sendiri merupakan pengamalan hamba
yang melahirkan kebajikan rohani, untuk mendapatkan ma’rifah kepada Allah SWT.
Mengenai kedudukan Tasawuf dalam
Islam, terdapat beberapa pendapat yang mengatakan, bahwa hal itu tidak termasuk
bagian integral dari ajaran Islam, dengan mengemukakan argumentasi sebagai
berikut:
1. Tidak terdapat satupun kata Tasawuf
dan Sufi dalam Al-Qur’an maupun Hadith
2. Banyak istilah Tasawuf yang sering digunakan
oleh Sufi, tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan Hadith
3. Timbulnya istilah Tasawuf dan Sufi beserta dengan ajarannya, baru dikenal
pada abad ketiga Hijriyah
4. Ajaran Tasawuf yang diamalkan oleh
orang Islam, mirip dengan ajaran Mistik yang telah diamalkan oleh umat
terdahulu.
Ada juga yang tidak sependapat
dengan keterangan di muka, dan tetap menganggap bahwa Tasawuf merupakan bagian
dari ajaran Islam, yang sama dengan kedudukan akhlaq, meskipun dari sisi lain
ada perbedaannya.
Ajaran Tasawuf dalam Islam, memang
tidak sama kedudukan hukumnya dengan rukun-rukun Iman dan rukun-rukun Islam
yang sifatnya wajib, tetapi ajaran Tasawuf bersifat sunnat. Maka Ulama Tasawuf
sering menamakan ajarannya dengan istilah “Fadailu al-A’mal” (amalan-amalan
yang hukumnya lebih afdal), tentu saja maksudnya amalan sunnat yang utama.
Memang harus diakui bahwa tidak ada
satupun ayat atau Hadith yang memuat kata Tasawuf atau Sufi, karena istilah ini
baru timbul ketika Ulama Tasawuf berusaha membukukan ajaran itu, dengan bentuk
ilmu yang dapat dibaca oleh orang lain. Upaya Ulama Tasawuf memperkenalkan
ajarannya lewat kitab-kitab yang telah dikarangnya sejak abad ketiga Hijriyah,
dengan metode peribadatan dan istilah-istilah (simbol Tasawuf) yang telah
diperoleh dari pengalaman batinnya, yang memang metode dan istilah itu tidak
didapatkan teksnya dalam Al-Qur’an dan Hadith. Tetapi sebenarnya ciptaan Ulama
Tasawuf tentang hal tersebut, didasarkan pada beberapa perintah Al-Qur’an dan
Hadith, dengan perkataan “Udhkuru” atau “Fadhkuru”. Dari perintah untuk
berzikir inilah, Ulama Tasawuf membuat suatu metode untuk melakukannya dengan
istilah “Suluk”. Karena kalau tidak didasari dengan metode tersebut, maka tidak
ada bedanya dengan akhlaq mulia terhadap Allah. Jadi bukan lagi ajaran Tasawuf,
tetapi masih tergolong ajaran Akhlaq.
Dan kalau dikatakan lagi, bahwa
ajaran Tasawuf sebenarnya termasuk kelanjutan dari ajaran Mistik umat terdahulu,
penulis memandang bahwa kemiripannya tidak berarti bahwa Tasawuf dalam Islam
adalah Mistik umat terdahulu, tetapi memang banyak ajaran umat terdahulu masih
dipertahankan oleh Islam; misalnya ajaran tentang perkawinan, khitanan,
jual-beli, sewa-menyewa, pegadaian dan sebagainya.
Untuk melihat hal ini, perlu kita
memperhatikan watak ajaran Islam yang berfungsi untuk melestarikan ajaran
maupun tradisi umat terdahulu, meskipun kadang-kadang masih dilakukan
penyempurnaan untuk menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Islam yang
menggunakannya.
Kemudian watak ajaran Islam yang
lain, adalah menggantikan ajaran umat terdahulu dengan ajaran yang baru, kalau
ajaran atau tradisi itu sangat berbahaya terhadap martabat manusia, merusak
kesehatannya, serta mengganggu tatanan masyarakatnya; misalnya larangan
berzina, minum khamar, mencuri dan sebagainya.
Lalu watak ajaran Islam yang lain
lagi, adalah menciptakan suatu ajaran baru, yang sebenarnya tidak pernah ada
pada umat terdahulu, dan hal itu merupakan kesempurnaan ajaran Islam
dibandingkan dengan ajaran agama yang mendahuluinya. Maka tidaklah berarti
bahwa ajaran Tasawuf yang mempunyai tradisi sama dengan tradisi mistik,
sehingga dianggap bukan ajaran Islam.
Memang kalau ajaran Tasawuf itu
hanya dilihat dari metodenya, yang sering disebut suluk, tentu tidak ada
keterangannya di dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadith, karena hal itu merupakan
penetapan ulama Tasawuf, yang barangkali dapat disamakan dengan hasil ijtihad
Fuqaha dalam bidang hukum. Tentu saja hasil ijtihad itu juga tidak ditemukan
teksnya secara nyata dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadith, namun bukan berarti
bahwa hal itu berada di luar ajaran Islam.
Ulama Tasawuf, yang sering juga
disebut “Ulama’ al-Muhaqqin” membuat tata cara peribadatan untuk mencapai tujuan
Tasawuf, didasarkan atas konsepsi dan motivasi beberapa ayat Al-Qur’an dan
Hadith, antara lain yang artinya:
Sesungguhnya
kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami
kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Q. S. At-Tiin: 4-5.
Q. S. Al-Ahzab: 41-42. Yang Artinya:
Hai orang-orang yang beriman; berdhikirlah (dengan) menyebut (nama) Allah,
dhikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbhilah kepada-Nya di waktu pagi dan
petang.
H. R. Bukhary Muslim, yang bersumber dari Abu Hurairah. Artinya:
……… Sembahlah Allah, seolah-olah engkau melihat-Nya; maka apabila engkau tidak
dapat melihat-Nya, maka Ia pasti melihatmu.
Dalam ayat pertama, diterangkan
bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan sebaik-baik kejadian, namun karena
perbuatan manusia itu sendiri, maka Allah mengembalikannya kepada tempat yang
sangat hina. Tempat inilah yang dimaksudkan oleh Sufi sebagai neraka. Dan untuk
menghindarinya, maka Sufi membuat tata cara mengabdikan diri kepada Allah, yang
disebut dengan “Suluk”, di mana di dalamnya diwarnai oleh zikir, sebagaimana
anjuran dalam ayat kedua di muka, dengan kalimat “Udhkurullah Dhikran Katsira”…
Sehingga Salik (peserta suluk) dapat mencapai tujuan Tasawufnya, yang disebut Ma’rifah;
yaitu suatu pengenalan batin terhadap Allah, yang disebut dalam hadith di muka,
sebagai perkataan pengabdian hamba kepada Allah, yang seolah-olah dapat
melihat-Nya (A’budillah Kannaka Tarahu …).
Keterangan inilah yang memberikan gambaran, bahwa ajaran
Tasawuf termasuk ajaran Islam,yang tercakup dalam sendi Ihsan, yang berfungsi
untuk memperkuat pengamalan sendi Aqidah (Keimanan) dan sendi Shari’ah. Maka
sering kita jumpai pembagian Tasawuf menjadi tiga macam, yaitu:
1. Tasawuf Aqidah; yaitu ruang lingkup
pembicaraan Tasawuf yang menekankan masalah-masalah metafisis (hal-hal yang
ghaib), yang unsur-unsurnya adalah keimanan terhadap Tuhan, adanya Malaikat,
Syurga, Neraka dan sebagainya. Karena setiap Sufi menekankan kehidupan yang
bahagia di akhirat, maka mereka memperbanyak ibadahnya untuk mencapai
kebahagiaan Syurga, dan tidak akan mendapatkan siksaan neraka. Untuk mencapai
kebahagiaan tersebut, maka Tasawuf Aqidah berusaha melukiskan Ketunggalan
Hakikat Allah, yang merupakan satu-satunya yang ada dalam pengertian yang
mutlak. Kemudian melukiskan alamat Allah SWT, dengan menunjukkan sifat-sifat
ketuhanan-Nya. Dan salah satu indikasi Tasawuf Aqidah, ialah pembicaraannya
terhadap sifat-sifat Allah, yang disebut dengan “Al-Asman al-Husna”, yang oleh
Ulama Tarekat dibuatkan zikir tertentu, untuk mencapai alamat itu, karena
beranggapan bahwa seorang hamba (Al-‘Abid) bisa mencapai hakikat Tuhan lewat
alamat-Nya (sifat-sifat-Nya).
2. Tasawuf Ibadah; yaitu Tasawuf yang
menekankan pembicaraannya dalam masalah rahasia ibadah (Asraru al-‘Ibadah),
sehingga di dalamnya terdapat pembahasaan mengenai rahasia Taharah (Asraru
Taharah), rahasia Salat (Asraru al-Salah), rahasia Zakat (Asraru al-Zakah),
rahasia Puasa (Asrarus al-Shaum), rahasia Hajji (Asraru al-Hajj) dan sebagainya.
Di samping itu juga, hamba yang melakukan ibadah, dibagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu:
a.
Tingkatan
orang-orang biasa (Al-‘Awam), sebagai tingkatan pertama;
b.
Tingkatan
orang-orang istimewa (Al-Khawas), sebagai tingkatan kedua;
c.
Tingkatan
orang-orang yang teristimewa atau yang luar biasa (Khawas al-Khawas), sebagai
tingkatan ketiga.
Kalau tingkatan pertama dimaksudkan
sebagai orang-orang biasa pada umumnya, maka tingkatan kedua dimaksudkan
sebagai para wali (Al-Auliya’), sedangkan tingkatan ketiga dimaksudkan sebagai
para Nabi (Al-Anbiya’).
Dalam Fiqh, diterangkan adanya
beberapa syarat dan rukun untuk menentukan sah atau tidaknya suatu ibadah.
Tentu saja persyaratan itu hanya sifatnya lahiriah saja, tetapi Tasawuf
membicarakan persyaratan sah atau tidaknya suatu ibadah, sangat ditentukan oleh
persyaratan yang bersifat rahasia (batiniyah). Sehingga Ulama Tasawuf sering
mengemukakan tingkatan ibadah menjadi beberapa macam, misalnya Taharah
dibaginya menjadi empat tingkatan:
a.
Taharah
yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari hadath dan najis;
b.
Taharah
yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari perbuatan dosa;
c.
Taharah yang sifatnya mensucikan hati dari
perbuatan yang tercela;
d.
Taharah
yang sifatnya mensucikan rahasia (roh) dari kecendrungan menyembah sesuatu di
luar Allah SWT.
Karena Tasawuf selalu menelusuri
persoalan ibadah sampai kepada hal-hal yang sangat dalam (yang bersifat
rahasia), maka ilmu ini sering dinamakan Ilmu Batin, sedangkan Fiqh sering
disebut Ilmu Zahir.
3. Tasawuf Akhlaqi; yaitu Tasawuf yang
menekankan pembahasannya pada budi pekerti yang akan mengantarkan manusia
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, sehingga di dalamnya dibahas beberapa
masalah akhlaq, antara lain:
a. Bertaubat (At-Taubah); yaitu
keinsafan seseorang dari perbuatannya yang buruk, sehingga ia menyesali
perbuatannya, lalu melakukan perbuatan baik;
b. Bersyukur (Asy-Shukru); yaitu
berterima kasih kepada Allah, dengan mempergunakan segala nikmat-Nya kepada
hal-hal yang diperintahkan-Nya;
c. Bersabar (Ash-Sabru); yaitu tahan
terhadap kesulitan dan musibah yang menimpanya.
d. Bertawakkal (At-Tawakkul); yaitu
memasrahkan sesuatu kepada Allah SWT. Setelah berbuat sesuatu semaksimal
mungkin untuk mencapai tujuan;
e. Bersikap ikhlas (Al-Ikhlas); yaitu
membersihkan perbuatan dari riya (sifat menunjuk-nunjukkan kepada orang lain),
demi kejernihan perbuatan yang kita lakukan.
Ini baru sebagian kecil saja akhlaq
baik terhadap Tuhan yang kita bicarakan, tetapi pembicaraan Tasawuf selalu
menuju kepada pembahasan yang lebih dalam lagi, yaitu hingga menelusuri
kerahasiaannya. Jadi pembicaraan taubat, syukur, sabar, tawakkal dan ikhlas,
dibahas dengan mengemukakan indikasi lahiriyahnya saja, maka hal itu termasuk
lingkup pembahasan akhlaq; tetapi bila dibahasnya sampai menelusuri rahasianya,
maka hal itu termasuk Tasawuf. Sehingga dari sinilah kita dapat melihat
perbedaan Akhlaq dengan Tasawuf, namun dari sisi lain dapat dilihat
kesamaannya, yaitu keduanya sama-sama tercakup dalam sendi Islam yang ketiga
(Ihsan).
Pembagian Tasawuf yang ditinjau dari
lingkup materi pembahasannya, maka dapat menghasilkan Tasawuf Aqidah, Tasawuf
Ibadah dan Tasawuf Akhlaqi. Tetapi bila ditinjau dari sisi corak pemikiran atau
konsepsi (teori-teori) yang terkandung di dalamnya, maka hal itu bisa menjadi
Tasawuf Salafi, Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi.
Dalam Tasawuf Salafi dan Tasawuf
Sunni, system peribadatan dan teori-teori yang digunakannya, sama dengan yang
telah dilakukan oleh Ulama-Ulama Salaf, sehingga kadang-kadang Tasawuf Sunni
disebut juga Tasawuf Salafi. Lain halnya dengan Tasawuf Falsafi, ajarannya
sudah dimasuki oleh teori-teori Filsafat; misalnya dipengaruhi oleh Filsafat
Yahudi; Filsafat Kristen dan Filsafat Hindu.
B.
Tujuan tasawuf dalam Islam
Ada beberapa tujuan
tasawuf dalam islam, diantaranya:
1. mendekatkan
diri pada Allah swt/ cinta yang bersifat ketuhanan cinta kepada Allah adalah
tujuan yang paling luhur dalam segenap maqamat-maqamat yang ada, selain
merupakan derajat yang paling tinggi karena setelah derajat itu tidak ada lagi
kecuali hanya buah dari cinta itu itu sendiri yang selaras dengannya. Seperti
kerinduan, damai dan ridha. Adapun maqamat-maqamat yang ada sebelum cinta
adalah tak ubahnya semacam muqaddimah untuk dapat menuju cinta, seperti taubat,
sabar dan zuhud. Cinta tak dapat didefinisikan secara lebih memadai daripada
kata cinta itu sendiri. Justru dengan mendefinisikannya ia akan semakin kabur.
Definisi dari cinta adalah wujudnya itu sendiri, karena pada dasarnya definisi
hanya berlaku untuki ilmu. Sedangkan cinta adalah sebuah keadaan perasaan yang
berpendar kedalam lubuk hati pengagungnya.tak ada yang dapat diutarakan kecuali
perasaan cinta itu sendiri.
2. Al-
Kasyf ( Ketersingkapan) Menurut Ibn Ajibah yang dikutip oleh Abdul Qadir isa,
kasyf adalah Firasat. Yaitu sebuah gejolak yang mengetuk hati atau sesuatu yang
datang menampakkan diri yang seringkali tak pernah salah ketika hati memang
benar-benar bersih, separti dalam hadits:” hendaknya kalian berlaku hati-hati
terhadap firasatnya seorang mukmin, karena ia memandang dengan cahaya Allah
swt. Dengan demikian kasyf selalu selaras dengan sejauh mana ia mendekatkan
diri kepada, dan mengetahui tentang Allah. Ketika hati begitu kuatnya disertai
dengan pengetahuan yang benar tentang-Nya maka firasat itu menjadi benar.
Karena ruh ketika memendarkan diri dari kehadiran dzat yang hakiki maka ia tak
akian berhiaskan kecuali dengan dzat itu sendiri. Dikatakan oleh syekh Muhammad
al-kurdi agar tujuan tasawuf dapat tercapai maka harus melalui tingkatan
sebagai berikut :
a. Syariat
Syariat adalah hukum-hukum yang telah diturunkan oleh Allah swt kepada
Rasulullah saw yang telah ditetapkan oleh ulama melalui sumber nash al-quran
maupun as-sunnah atau dengan cara istimbat, yaitu hukum-hukum yang telah
diterangkan dalam ilmu tauhid, ilmu fiqh dan ilmu tasawuf.
b. Thariqat Tariqat adalah pengamalan syariat,
melaksanakan beban ibadah dengan tekun dan menjauhkan diri dari sikap
mempermudah ibadah yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah (diremahkan)
c. Hakikat
Hakikat adalah suasana kejiwaan seorang salik (sufi) ketia ia mencapai suatu
tujuan sehingga ia dapat menyaksikan tanda-tanda ketuhanan dengan mata hatinya.
d. Ma’rifat
Ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah pada seorang sufi dalam keadaan
hatinya selalu berhubungan dengan nur ilahi. Ma’rifat membuat ketenangan dalam
hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan dalam pikiran. Bila
proses ini tidak dijalani secara sistematis maka bukan tasawuf yang dicapai
akan tetapi kesesatan. Karena manusia sangat ditekankan untuk menjalani
syari’at dan syari’at saja tidak cukup tanpa mendidik hati sanubarinya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh imam Malik,”Barang siapa yang berfiqh tanpa
tasawuf maka dia akan berbuat dusta dan barang siapa yang bertasawuf tanpa
berfiqh maka akan sesat.” Sedangkan imam al-ghazali lebih menekankan untuk
berakhlak, manusia tidak bertasawuf bilamana ia tidak dapat berakhlak dengan
baik. Mahmud amin an-Nawawi mengatakan bahwa tasawuf dapat dicapai bila seorang
hamba menggunakan semua waktu untuk beribadah dan berdzikir kepada tuhan dimana
pun dan kapanpun. Ia lebih menekankan menjauhi hidup duniawi untuuk mendekatkan
diri kepada tuhan, maka manusia harus menjauhi keduniawian dan menghadap
kepada-Nya untuk menggapai keridhaannya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kedudukan Tasawuf dalam Islam, terdapat
beberapa pendapat yang mengatakan, bahwa hal itu tidak termasuk bagian integral
dari ajaran Islam, dengan mengemukakan argumentasinya. Ajaran Tasawuf dalam
Islam, memang tidak sama kedudukan hukumnya dengan rukun-rukun Iman dan
rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib, tetapi ajaran Tasawuf bersifat sunnat.
Maka Ulama Tasawuf sering menamakan ajarannya dengan istilah “Fadailu al-A’mal”
(amalan-amalan yang hukumnya lebih afdal), tentu saja maksudnya amalan sunnat
yang utama.
Ada beberapa tujuan
tasawuf dalam islam, salah satunya mendekatkan diri pada Allah swt/ cinta yang
bersifat ketuhanan cinta kepada Allah adalah tujuan yang paling luhur dalam
segenap maqamat-maqamat yang ada, selain merupakan derajat yang paling tinggi
karena setelah derajat itu tidak ada lagi kecuali hanya buah dari cinta itu itu
sendiri yang selaras dengannya.
B. Saran
Kami mengharabkan kepada mahasiswa untuk lebih
mempelajari secara mendalam tentang kedudukan dan tujuan tasawuf dalam islam,
karena kami merasa makalah ini kurang lengkap dan kurang sempurna. Untuk itu
kami sebagai pemapar makalah sangat mengharabkap kritikan atau saran dari
kawan-kawan demi membaiknya makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Abuddin,
Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali
Pers, 2009
Ø Abdul
Qadir, Cetak Biru tasawuf. Ciputat:
Ciputat Press, 2005
Ø Blogspot.com
kedudukan dan tujuan tasawuf dalam islam
Pso4 titanium hair clipper from titanium hair clipper
BalasHapusTITI: This lightweight, lightweight lightweight, lightweight, and compact razor harbor freight titanium welder is made citizen super titanium armor of microtouch titanium trim as seen on tv titanium, garmin fenix 6x pro solar titanium making it ideal for many men to titanium coating remove and